Selasa, 20 Januari 2009

LEWAT GEMERICIK

lewat gemericik
kubuka lorongmu

sunyi mencari-cari

mungkin rasa kehilangan
merindu rumah

atau cuma kekaguman
yang pongah?

DI KAMAR

di kamar itu kutitipkan gerimis padamu
semoga sampai,
meski tanpa alamat dan perangko

pembawa kabar gembira dari negeri awan
di mana mimpi-mimpimu kau ikatkan

: luruh aku
jatuh padamu

PERPISAHAN

selembar senja menerpa bayang-bayang
cinta mesti undur sekarang
sebelum rintik menjatuhkan keheningan
dan khianat mengerang panjang

maka rembulan nyalang
mengukuhkan sunyiyang tiba-tiba
terserap pada beranda tua

lantas aroma dendam percintaan
yang mulai gugur di dedaunan
aku singkirkan jauh di pembakaran

agar ruhku tak lagi berseteru
dengan tubuh yang makin menderu-deru

PENDUSTA

kemanakah gerangan
sekumpulan nama pendusta
dari seluruh pelosok kata
yang semalam mengendap-endap
dalam mimpiku?

menebar perangkap di ujung ruang pengap
tanpa jendela dan ventilasi

cahaya telah lampau musnah
bahkan kedua mata yang nyalang
tak lagi berguna
hitam yang bukan malam,
bukan kelam
bahkan bukan apa-apa,
selain kata

biar

nafasmu di lantai dingin
pucat dan berangin

biar aku menyelinap

menjadi hangat meski tak lengkap
menjelma seberkas nyala di sudut kelam
menghatam roboh dinding penghalang

POTRET

dari dalam hutan bingkai ini berasal
: beringin tua tanpa usia

tidurlah

tidurlah
malam tak akan menakutimu
sisa sepi pada sebotol whisky
cuma mimpi

esok pagi ada yang menanti
serupa bayang-bayang dan tubuh

percayalah
siang tak akan memaksamu
cukuplah kau duduk di kursi
sambil mengingat-ingat
dari arah mana terbit matahari pagi

Senin, 19 Januari 2009

KABAR BURUK

jejak kakiku yang membekas
di halaman setelah selesai hujan
tadi malam
membawa kabar dari kejauhan

lihatlah genangan airnya
yang kecokelatan
serupa bola matamu
yang sunyi mencekam

daun-daun akasia
yang basah
bertebaran
diliputi tanah

sembunyi dari
peluru
yang katamu
bermata satu

rajut

di lantai ungu, rajutan ibu belum selesai
wol-wol terjuntai dari atas meja
tempat kata-kata merangkai bunga
pada waktu minum teh tiap pagi

barangkali kursiku di meja itu
tetap tak terisi
sejak terakhir kali aku bertanya
untuk siapa rajutan itu

tapi di tiap ujung hari aku selalu
melanjutkan rajutan itu
dalam kepalaku
dan tetap saja tak selesai

hingga benang-benang itu
bertambah kusut
dan aku mulai malas
menusukkan jarum-jarum di kepalaku

pergi

sepucat itukah wajah bis kota?
mengalir di jalan raya
sungai hitam tempat
iblis dan malaikat bermula.

denting gelasmu saat membuat teh
tak akan terdengar sampai di sini
di sini hanya ada jalan
tempat keriuhan menanam angkara